Senin, 18 Juni 2012

Konsep Kewarganegaraan di Indonesia


Konsep Kewarganegaraan di Indonesia



Wacana Kewarganegaraan (Ganda) telah menjadi isu vital dan sensitif dalam sejarah Indonesia sebagai negara berdaulat karena menyangkut identitas bangsa.  Sumpah pemuda 1928 telah membangkitkan semangat nasionalisme yang membawa Indonesia merdeka (1945). Namun, Kemerdekaan yang sama juga membawa dilema bagi perkembangan konsep kewarganegaraan di Indonesia. Bangsa Indonesia memiliki setidaknya dua pilihan, pertama, berkaca pada sejarah leluhur sebelum masa penjajahan. Kedua, berkaca pada sejarah penjajahan. Tampaknya, kita memilih pilihan kedua. Bagaimana dengan pilihan pertama?
Bangsa Indonesia adalah bangsa yang besar dan terbuka sejak ratusan tahun silam. Rempah -rempah Nusantara telah di perdagangkan hingga ke Kaisaran Romawi lebih dari 2500 tahun silam melalui  perantara pedagang Gujarat dan Persia. Kepulauan Nusantara telah menjadi jalur penting perdagangan Internasional sejak dulu kala. Karenanya, zaman keemasan Indonesia, justru terjadi pada abad 13, dengan keberhasilan Majapahit mendapatkan pengakuan kedaulatan atas konsep “Nusantara,” yang mendasari bentuk NKRI sekarang ini.
Yang menakjubkan dari perjalanan sejarah Kepulauan terbesar di dunia ini adalah, konsep warganegara dan negara juga telah lahir sejak zaman itu, dengan di adopsinya kata nagari (bahasa Sansekerta) sebagai negara-kota, dan warga yang berarti grup, divisi, atau kelas.
Artinya, konsep ini tidak di adopsi dari kebudayaan kolonial semata, kendati konsep dasar antara citizen dan warganegara adalah serupa.  Berdasar pada perjalanan sejarah ini, sudah seharusnya Indonesia mampu mengembangkan konsep Kewarganegaraanya setingkat lebih maju. Kemajuan ini di tandai dengan adanya keterlibatan menyeluruh Warga Negara Indonesia dalam aspek politik, ekonomi dan sosial. Namun, penjajahan  telah memengaruhi arah perkembangan konsep kewarganegaraan di Indonesia menjadi tertutup dan protektif, terlebih ketika dunia memasuki perang dingin. Indonesia yang multi etnis pun merasa terancam dengan keberadaan para etnis Cina yang di jamin hak Kewarganegaraannya oleh Mao Tze Dong, dengan pernyataan terkenal nya “ setiap orang Cina di muka bumi ini adalah warga negara Cina.”  Kita pun memahami apa yang terjadi pada Etnis ini di Indonesia, hingga gelombang perubahan Internasional terjadi lagi paska perang dingin (1991-2000) yang menghantam Indonesia dengan keras: krisis ekonomi, lepasnya Timor -Timur, dan tentunya pergantian rezim. Paska Perang Dingin menandai era keterbukaan dan penghargaan terhadap Hak Asasi Manusia (HAM). Setiap bangsa yang tidak menjungjung HAM, akan dikucilkan di dunia Internasional.  Indonesia pun mengambil inisiatif serupa dengan memasukkan pasal HAM dalam konstitusinya. Akan tetapi, konsep kewarganegaraan sebagai salah satu dimensi hukum yang menjamin tegaknya HAM, tidak mengalami perkembangan berarti (pasal 26 UUD 1945).  Logikanya, HAM menjadi milik hakiki setiap manusia. Namun, penegakkannya membutuhkan sistem yang berlaku baik secara lokal  maupun global.
Dalam tataran lokal ataupun nasional, perangkat hukum yang mengatur hubungan antara warganegara dan negaralah yang diharapkan mampu melindunginya. Di Indonesia, hal ini belum menyeluruh yang bisa di lihat melalui pengaturan hak dan kewajiban warganegara dalam memenuhi fungsi ekonomi dan sosial ( misal Undang -Undang Pokok Agraria 1964 yang membatasi kepemilikan tanah dan bangunan bagi warga negara Indonesia yang menikah dengan orang asing, Undang -Undang tentang Keimigrasian 7/2011, tentang tata cara kehilangan kewarganegaraan secara tidak sukarela. Apabila asas kehilangan tidak rela ini di batasi atau di tiadakan (yang artinya setiap WNI tidak bisa kehilangan kewarganegaraan Indonesianya), maka para WNI terlebih para migran, akan lebih leluasa untuk memberi kontribusi pada pembangunan Indonesia.
Dalam tataran global, Indonesia seharusnya lebih aktif dalam meningkatkan  wibawa hukum nasional dengan menjadi bagian dari perjanjian hukum internasional. Sejauh ini, Indonesia belum menjadi anggota dari beberapa perjanjian hukum Internasional yang vital bagi penegakkan HAM.

Pendidikan Kewarganegaraan Kehilangan Roh


Pendidikan Kewarganegaraan Kehilangan Roh

Artikel: Pendidikan Kewarganegaraan Kehilangan Roh
Indonesia adalah negara plural. Terdiri dari beratus-ratus suku dan bahasa. Hal ini tentu menjadi sebuah kekayaan yang sangat berarti. Namun, jika tidak dikelola dengan baik, dapat jgua menjadi malapetaka. Ia memunculkan politik yang lebih menekankan identitas kedaerahan. Hal ini pernah kita rasakan pada masa-masa awal kemerdekaan, ketika daerah-daerah menuntut haknya untuk memisahkan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Namun, politik identitas itu berhasil diredam. Karena ketakutan akan munculnya aksi separatis dari daerah-daerah tersebut, pemerintahan Orde Baru menerapkan politik sentaralisasi. Keinginan daerah diredam dan setiap aksi daerah ditanggapi dengan sikap otoriter-represif. Sikap otoriter-represif pemerintahan Orde Baru ini pun menimbulkan perlawanan demi perlawanan, yang memuncak pada peristiwa Mei 1998, yakni tergulingnya rezim pemerintahan Orde Baru. Orde Baru kemudian digantikan dengan Orde Reformasi. Salah satu ciri penting reformasi adalah terbukanya kran demokrasi dan peluang besar daerah melalui sistem desentralisasi. Daerah diberi kebebasan untuk membangun dan mengatur dirinya sendiri. Reformasi yang bergulir di Indonesia tidak bisa dilepaskan dari peran civil society (masyarakat sipil). Kelompok ini berhasil menggulingkan rezim Orde Baru yang telah memerintah selama 32 tahun. Reaksi masyarakat sipil yang mulai dikembangkan di Indonesia pada era 1990-an itu, muncul karena adanya kecenderungan politik rezim Orde Baru yang otoriter-totaliter. Karena itu, dalam arti tertentu, masyarakat madani sering ditempatkan dalam konteks vis a vis, atau berhadap-hadapan dengan negara. Dalam era otonomi daerah, peran masyarakat sipil kian menguat. Menurut Prof. Henk Schulte Nordholt peneliti dari Royal Netherlands Institute of Southeast Asian and Caribbean Studies, penguatan civil society adalah sesuatu hal yang positif. Berbagai peristiwa politik yang berlangsung di tanah air seperti pemilihan kepala daerah langsung, tidak bisa dipisahkan dari peran kelompok ini. Namun, kata Henk, perkembangan civil society saja tidak cukup. Perkembangan civil society harus diiringi dengan kesadaran tinggi tentang prinsip citizenship (kewarganegaraan). Tanpa kesadaran akan kewarganegaraan maka akan menimbulkan konflik bahkan perpecahan. “Ya kalau civil society hanya dikembangkan di daerah untuk kepentingan tertentu saja, maka itu apa gunanya. Hal itu hanya akan menjadi sesuatu yang berbahaya. Bisa muncul konflik bahkan perpecahan,” ujarnya usai bedah buku “Politik Lokal di Indonesia” di Jakarta beberapa waktu lalu. Salah satu gejala kurangnya kesadaran akan pemahaman terhadap citizenship kata Henk, muncul ketika seseorang ditanyai identitasnya. “Perkenalan pertama yang muncul pertama adalah saya adalah orang Batak, Jawa atau Sunda. Baru setelah itu orang Indonesia,”ujarnya. Agar tidak menimbulkan konflik atau perpecahan, Henk menganjurkan agar diskusi dan pembahasan tentang citizenship harus lebih dikedepankan, bukan hanya diskusi tentang civil society. Civil society adalah salah satu kelompok masyarakat yang terlepas dari negara. Sedangkan citizenship berhubungan dengan hak tertentu. Paham citizenship, kata Henk, menempatkan semua orang sama di depan hukum, atau undang-undang dan kerena itu juga harus dilindungi. Semua warga harus berada di bawah undang-undang yang sama, dan tidak ada perbedaan diantara kelompok etnis, agama atau daerah. “Dalam ide citizenship misalnya, yang yang boleh menjadi presiden RI itu adalah calon terbaik, jadi bukan terbatas pada orang Jawa, atau agama tertentu saja. Itu sangat penting untuk mengikuti undang-undang,”ujar Henk. Pemahaman tentang citizenship perlu dikembangkan supaya semua orang tahu bahwa yang pertama-tama sebenarnya bukan orang Madura, orang Aceh, Jawa dan lain-lainnya tapi adalah warga Indonesia. Salah satu cara untuk mendepankan pemahanan tentang citizenship, adalah melalui pendidikan kewarganegaraan yang diajarkan di sekolah-sekolah. Menurut Asep Saefuddin Wakil Rektor IV Bidang Hubungan Kemahasiswaan Institut Pertanian Bogor, pendidikan kewarganegaraan yang dijalankan di sekolah-sekolah selama ini hanya bersifat formalistik yakni sebagai prasyarat mata ajaran belaka. “Mata pelajaran pendidikan kewarganegaraan yang diajarkan selama ini hanya formalistik, bukan sebagai upaya nasional untuk membangun karakter (character building). Dan karena itu, ia kehilangan rohnya,” ujar Asep. Mata pelajaran pendidikan kewarganegaraan yang diajarkan katanya, hanya bersifat kewajiban dan artifisial. Karena itu, pendidikan kewarganegaraan tidak bisa menjadi alat untuk menggelorakan semangat nasionalisme. Karena itu, Asep mendesak pemerintah untuk melakukan pembenahan total baik kurikulum maupun sistem pengajaran. Pendidikan kewarganegaraan, katanya, harus bisa mendekatkan dirinya dengan realitas harian. Misalnya, anak diajarkan untuk menghormati hak-hak warga lain. Selain pendidikan kewarganegaraan, kata Henk, peran negara juga sangat penting. Negara harus menampilkan dirinya sebagai sosok kuat, yang bisa melindungi hak-hak warganya. Negara juga harus bisa mengubah fungsinya menjadi welfare state, yakni yang mengusahakan kemakmuran bagi warganya, seperti mengelola pendidikan, kesehatan dan infrasruktur. “Jadi, yang sangat berbahaya dalam proses itu adalah ideologi neoliberal yang mengatakan less state, more democracy, yakni pengelolaan negara harus seminimal mungkin. Hemat saya, Indonesia memerlukan more state, bukan hanya pada tingkat lokal, tapi juga pada tingkat nasional,”ujar Henk. Agar negara bisa memainkan peran kuat, Henk menyarankan sebuah pemerintahan yang kuat (strong government). “Tapi bukan pemerintahan yang otoriter. Strong government yang maju dan efisien, dengan banyak ahli karena banyak pengetahuan. Dan tetap dikontrol oleh mesin-mesin demokrasi,” ujarnya.

Minggu, 17 April 2011

Analisis Rasio Laporan Keuangan Bank Mega, Tbk terhadap Camels


Nilai Rasio CAMEL dihitung dengan 7 indikator, yaitu:
a. CAR. Dirumuskan :
CAR = Total Modal / Total ATMR
Pada laporan tersebut CAR mengalami perubahan yang signifikan tiap tahunnya, pada tahun 2006 rasio CAR besar (17,00), namun pada tahun 2007 mengalami penurunan (15,14) . Karena CAR ini merupakan cerminan dari seberapa besar jumlah aktiva yang memiliki resiko yang dibiayai oleh modal selain dana bank, sehingga dapat dikatakan bank CIMB Niaga tidak mampu mepertahankan sejumlah aktiva yang memiliki resiko.

b. Rasio Aktiva Tetap terhadap Modal. Rasio ini dapat dirumuskan sebagai berikut:
ATTM = (Aktiva Tetap + Inventoris)/ Modal
Rasio ini digunakan untuk mengukur kemampuan manajemen lembaga keuangan dalam menentukan besarnya aktiva tetap dan inventaris yang dimiliki bank yang bersangkutan terhadap modal. Pada data tahun 2006 (43,55) dan 2007 (45,88) ini artinya pada tahun 2007 bank tidak lagi mampu menurunkan rasio, artinya Semakin tinggi rasio ini artinya modal yang dimiliki bank kurang mencukupi dalam menunjang aktiva tetap dan inventaris sehingga kemungkinan suatu bank dalam kondisi bermasalah akan semakin besar.

Senin, 04 April 2011

Tugas ALK ke 3 (Pertanyaan BAB 2)

Tugas Analisis Laporan Keuangan Minggu ke 4


Soal 3.7
Mengacu pada laporan keuangan Campbell Soup di Lampiran A. Catatan atas Program Pensiun dan Manfaat Pensiun menjelaskan perhitungan beban pension, PBO, dan elemen-elemen lain dalam program pension (seluruh jumlah dalam jutaan).
Diminta :
a.     a.Jelaskan apa yang di cerminkan oleh biaya jasa sebesar $22,1 untuk tahun 11.
b.Tingkat diskonto berapakah yang diasumsikan oleh perusahaan untuk tahun 11? Apakah dampak perubahan dari tingkat diskonto yang digunakan di tahun 10?
c.Bagaimana cara menghitung bunga atas PBO?
d.Pengembalian atas asset actual adalah sebesar $714,4. Apakah akun ini secara keseluruhan masuk sebagai komponen biaya pension? Jelaskan.
e.Campbell menunjukkan ABO sebesar $714,4. Kewajiban apajah ini?
f.Identifikasi jumlah PBO dan jelaskan penyebab perbedaan jumlahnya dengan ABO.
g.Apah Campbell mendanai beban pensiun di akhir tahun 11?